Menu1

Minggu, 23 Agustus 2009

MOPI MENANGKAP PELANGI

Mopi, si monyet, suka berada di dekat jendela saat hari hujan. Kadang, ia pura-pura memancing ikan atau menjatuhkan perahu kertas di atas tanah yang dialiri air hujan yang deras.
Kali ini, setelah hujan reda, ia melihat sesuatu yang berbeda.
“Wuah! Apa itu, Nek? Kok ada merah…hijau…kuning…biru…melengkung di langit? ” tanya Mopi pada Nenek yang sedang menyiapkan teh hangat bersama Ibu.
“Itu namanya pelangi.” jawab Nenek.
Wah…pelangi ya? Benar-benar indah. Mopi juga ingin punya pelangi.
“Besok aku mau pergi menangkap pelangi, ah!” cetus Mopi.
Tapi, bagaimana caranya? Semalaman Mopi tidak bisa tidur memikirkannya.
Esok harinya, setelah hujan reda, sebuah pelangi muncul lagi. Mopi berlari keluar rumah sambil membawa kantung besar.
“Hup…hup…hup…” ia segera memanjat pohon kelapa yang tinggi di dekat rumah. Mopi mau menangkap pelangi.
Tapi, sampai di pucuk pohon, pelangi itu masih saja tak tergapai oleh tangan Mopi.
“Ah, sayang. Padahal tinggal sedikit lagi.” sesal Mopi.
Ketika pulang ke rumah, Mopi melihat Nenek membawa sekeranjang benang wol berwarna-warni. Jangan-jangan…..
“Apa Nenek juga mau menangkap pelangi dengan benang-benang itu?” tanya Mopi curiga.
Nenek hanya tersenyum. Hati Mopi semakin dag-dig-dug. Jangan sampai Nenek mendahuluinya menangkap pelangi!
Setiap ada pelangi muncul, Mopi pasti berlari keluar rumah sambil membawa kantung besar. Semua pohon yang tinggi-tinggi ia panjat untuk menangkap pelangi. Namun, selalu gagal. Hiks!
Tapi, di hari Minggu ini, Mopi sungguh beruntung. Ayah mengajak Mopi naik balon udara! Ayah meminjamnya dari seorang teman. Asyik!
Saat balon udara melintasi pelangi, tangan Mopi berusaha meraihnya untuk dimasukkan ke dalam kantung. Namun, ternyata pelangi itu seperti udara! Tidak bisa ditangkap!
Mopi pulang dengan perasaan kecewa. Ia senang naik balon udara bersama Ayah, tapi ia gagal menangkap pelangi.
Dan Nenek tahu itu. Beliau memberikan sebuah kejutan untuk Mopi.
Oh, sebuah sweater bergaris warna-warni! Bagus sekali! Kok rasanya mirip…..
“Nenek berhasil menangkap pelangi?!” tanya Mopi heran.
Nenek tertawa. “Mopi, pelangi tidak bisa ditangkap. Tapi, kalau kau suka pelangi, kau bisa menangkap keindahannya. Nenek merajut sweater ini untuk menangkap keindahan pelangi.”
Mopi mengangguk-angguk. Ooh…begitu ya….
“Terimakasih, Nek!” Mopi memeluk Nenek dengan hangat.

KUNIL INGIN TAMPIL

Kunil, si kuda nil, suka sekali menari. Dia menari di depan cermin kamar tidurnya, di ruang tamu, di dapur, di halaman belakang, di mana saja asalkan ia bisa menari dengan senang.
Bulan depan, ia ingin tampil di pentas sekolah. Makanya, ia lebih sering menari dibandingkan hari-hari sebelumnya.
“Kunil menari? Hahaha. Penari kok gendut!” celetuk Tupsi, tupai yang sering usil pada semua temannya.
Kunil sedih sekali. Memang, penari-penari yang sering ia lihat tidak ada yang berbadan gendut.
Maka pagi itu, Kunil memutuskan untuk tidak sarapan. “Aku tidak mau makan, Bu. Aku bisa tambah gendut nanti.”
“Keluarga Kuda Nil tidak ada yang berbadan kurus, Kunil. Seperti keluarga Jerapah, tidak ada yang berleher pendek.” Kata Ibu.
‘Kunil termenung sejenak. ’Kalau begitu, aku yang akan menjadi Kuda Nil kurus pertama di dunia! Aku tidak mau makan!”
Ibu tertawa. “Ini pasti tentang pentas sekolah kan? Kenapa kau tidak menjadi penari gendut pertama di dunia saja?”
Penari gendut pertama di dunia? Kunil belum pernah mendengar itu.
“Sarapan sangatlah penting bagi seorang penari. Supaya ia punya tenaga untuk menari sepanjang hari dengan penuh semangat!” nasehat Ibu.
Sambil berpikir, Kunil mulai makan pelan-pelan.
Pulang sekolah, Ibu memberikan kejutan pada Kunil. Sebuah gaun yang indah dengan sepasang sayap berkilau untuk dipasang di punggung. Kunil senang sekali. Ia menari berputar-putar di depan cermin.
“Nah, apakah kamu sudah memikirkan tarian apa yang ingin kau tampilkan?” tanya Ibu.
“Yang pasti, dengan gaun ini, aku ingin menjadi peri cantik yang pandai merawat bunga-bunga!” jawab Kunil.
Hari pentas sekolah telah tiba. Kunil menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh percaya diri, ia menarikan gerakan-gerakan yang telah ia latih bersama Ibu di taman bunga belakang rumah. Di atas panggung, Kunil menjelma menjadi peri cantik yang lincah melompat dari bunga ke bunga, sambil menyiramkan embun pagi yang segar.
Para penonton menyukainya. Mereka bertepuk tangan riuh untuk Kunil.
Mulai hari itu, Kunil dikenal sebagai Kunil si Peri Bunga. Bahkan, Tupsi tidak pernah mengejeknya lagi.
Hmm…mungkin Kunil adalah peri bunga gendut pertama kali di dunia.

DINGO, SI SINGA HEBAT

Siapa yang tidak kenal Dokter Dingo di hutan kecil ini? Ia adalah singa hebat. Ia pandai menyembuhkan hewan-hewan yang sakit, terampil meramu obat dari kebun tanaman obat yang ia tanam sendiri, menulis pesan-pesan kesehatan yang ia kirimkan sendiri ke setiap kotak pos di rumah para hewan hutan, dan masih banyak kehebatan Dingo lainnya.
Setiap hari, Dingo sibuk sekali. Melakukan ini dan itu. Tapi ia lebih suka melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan hewan lain.
“Butuh bantuan untuk mengirim pesan kesehatan, Dingo?” tanya Bangau, Si Tukang Pos.
“Oh, tidak. Terima kasih!” begitu jawab Dingo setiap ada hewan yang menawarkan bantuan.
Suatu hari, angin bertiup amat kencang, sehingga merusak rumah Dingo. Padahal, Dingo biasa mengobati hewan-hewan yang sakit di rumahnya. Butuh waktu lama untuk memperbaiki rumah. Dingo mencoba membangun tenda. Namun sebentar saja, tenda itu roboh tertiup angin kencang.
“Aku dan teman-temanku bisa memperbaiki rumahmu yang rusak, Dingo. Bagaimana kalau besok?” kata Berang-Berang, Si Tukang Kayu.
“Ah, cuma rusak sedikit, kok. Aku bisa memperbaikinya sendiri.” jawab Dingo.
Tapi, Dingo takkunjung punya waktu untuk memperbaiki rumahnya. Ia sibuk berkeliling hutan untuk menyembuhkan hewan-hewan yang sakit, karena ia tidak bisa memeriksa mereka di rumahnya yang sedang rusak.
“Aduh…capek juga berkeliling hutan begini.” keluh Dingo, ketika ia sedang mengeposkan pesan kesehatan di rumah Tapir.
Tiba-tiba ia merasa pusing, lalu Dingo pun jatuh pingsan.
Saat sadar, Dingo sudah berada di dalam rumah Tapir. Hewan-hewan lain mengelilinginya.
“Kau pasti kecapekan, Dingo. Istirahatlah di rumahku selama beberapa hari sampai sehat. Aku akan merawatmu.” kata Tapir.
Dingo mencoba bangun, tapi ia merasa lemas. “Aku pulang saja. Aku harus memperbaiki rumahku, merawat kebun tanaman obat, mengirim pesan kesehatan, menyembuhkan hewan-hewan yang sedang sakit….”
“Tenang saja. Kami semua akan membantu. Bukankah kami ini teman-temanmu?” tanya Bangau dan Berang-Berang serempak.
Dingo tak menyangka bahwa ia memiliki banyak teman yang baik hati. Ketika ia sudah pulih dan kembali pulang, ia melihat Bangau mengirimkan pesan-pesan kesehatan yang masih tersisa. Kebun tanaman obat tumbuh subur, karena dirawat baik oleh Tikus Tanah, si Petani. Rumahnya juga sudah diperbaiki oleh para Berang-Berang. Dan yang paling penting, hewan-hewan bisa berobat di sini lagi. Lalu, siapa yang menjadi dokter selama ia pergi?
Oh, rupanya ada Kalkun yang baru saja lulus dari sekolah dokter!
“Aku sangat mengagumimu, Dingo! Aku ingin menjadi dokter hebat sepertimu.” kata Kalkun.
“Ah, aku tidak sehebat itu. Tapi, aku beruntung mempunyai teman-teman yang hebat seperti kalian semua.” kata Dingo terharu.

Mesin Es Serut

Pingku adalah seekor penguin yang tinggal di Pulau Tropis. Sepanjang tahun, cuaca di Pulau Tropis selalu panas, jika tidak sedang hujan. Tapi, menurut Pingku, akhir-akhir ini udara lebih panas dari biasa. Mungkin, karena ia baru saja pulang mengunjungi saudara-saudaranya di Kutub Utara yang dingin, dikelilingi gunung-gunung es.
“Panas-panas begini, enaknya minum apa, ya? Aku tahu! Es Stoberi!”
Tapi masalahnya, ia sudah bosan dengan Es Stroberi yang sering ia buat. Hmm. Ia teringat hujan salju yang berwarna putih di Kutub Utara. Itu kan es juga! Dingin dan segar. Tapi esnya begitu halus dan lembut. Ah, aku mau es yang seperti itu!
Pingku pergi ke perpustakaan Pulau Tropis untuk mencari cara bagaimana membuat es seperti salju. Lalu, ia menemukannya. Oh, namanya Es Serut! Setelah bekerja selama seminggu, akhirnya Pingku berhasil membuat Mesin Es Serut, dan menikmati es serut stroberi buatannya di halaman belakang.
“Wah, Pingku! Aku juga mau! Bolehkah aku meminjam Mesin Es Serut?” tanya Koko si burung hantu, saat sedang lewat.
“Ya, tentu saja!” jawab Pingku. Ia senang, Mesin Es Serut buatannya bermanfaat untuk orang lain.
Tapi, tiga hari kemudian, Koko datang mengembalikan Mesin Es Serut. “Maaf, sekrupnya copot.”
“Tak apa-apa. Aku bisa memperbaikinya.” kata Pingku.
Setelah kejadian itu, datanglah Pinca si ular sanca, Aci si kelinci, Usa si Rusa, dan teman-temannya yang lain. Secara bergantian, mereka meminjam Mesin Es Serut Pingku. Mereka juga ingin menikmati es serut segar di hari yang panas. Sayang, mereka selalu mengembalikannya dalam keadaan rusak. Berkali-kali Pingku memperbaikinya, sampai ia merasa capek. Ia jengkel pada teman-temannya dan tidak mau meminjamkan Mesin Es Serutnya lagi. Ia jadi murung dan mengurung diri di rumah.
Koko si burung hantu menyadari hal itu. Lalu, ia mengumpulkan teman-teman yang pernah meminjam Mesin Es Serut Pingku.
“Kita harus minta maaf pada Pingku. Dengar, aku punya rencana.”
Keesokan hari, Koko dan teman-teman Pingku yang lain datang ke rumah Pingku.
“Maaf ya, Pingku? Kami sudah sering merusakkan Mesin Es Serutmu.” kata Usa si Rusa.
“Makanya, kami datang ramai-ramai ke sini untuk belajar membuat Mesin Es Serut sendiri. Supaya kami tidak merepotkanmu. Mau kan?” kata Aci si kelinci.
Pingku tersipu malu, “Ah, sudahlah. Tak apa-apa. Ayo kita mulai.”
Kini, setiap teman Pingku mempunyai Mesin Es Serut sendiri. Begitu siang tiba, Koko, Usa, Aci, dan teman-teman Pingku yang lain datang bergantian setiap hari, mengantarkan Es Serut buatan mereka untuk Pingku. Tak hanya rasa Stroberi. Ada juga rasa Jeruk, Apel, Anggur, dan Kelapa. Benar-benar menyenangkan!
Terima kasih teman-teman!

Ksatria Kelinci

Ibu Kelinci sedang membuat pai wortel yang manis dan lezat. Sebelum siap dimakan, pai itu harus didinginkan dulu supaya tidak lembek dan hancur.
“Kinci, tolong jaga pai wortelnya ya? Ibu mau pergi ke rumah tetangga sebentar.” pesan Ibu Kelinci pada Kinci, si kelinci kecil.
Ia sedang asyik membaca buku tentang para ksatria gagah sambil berbaring di atas rumput halaman.
“Siap, Bu!” sahut Kinci memandangi pai yang diletakkan di pinggir jendela dapur.
“Aku Ksatria Kelinci akan menjagamu, wahai Pai Wortel!” Kinci menepuk-nepuk dadanya.
Kinci tiba-tiba punya ide. Ia berlari masuk ke dalam rumah, mengambil sprei dari keranjang cucian, sepatu bot milik Ayah, panci masak dari rak piring, dan sapu lantai di belakang pintu.
“Hmm…apa aku sudah benar-benar mirip ksatria?” tanyanya dalam hati.
Kemudian ia berkeliling rumah. Kakek sedang duduk-duduk di kursi goyang sambil terkantuk-kantuk.
“Kek, apa aku sudah mirip ksatria?” tanya Kinci membentangkan jubah spreinya.
“Hm…hm…” jawab Kakek.
Tak puas dengan jawaban Kakek, Kinci mencari Ayah yang sedang menanam wortel di kebun. Ia pun menanyakan hal yang sama. “Mirip sekali! Hahaha…” kata Ayah tertawa melihat sepatu bot Kinci yang kebesaran.
“Kakak gagah sekali!” puji Cici, adik perempuannya.
Kinci menunjukkan rasa terima kasih dengan mengangkat helm tempur yang sebenarnya adalah panci masak.
Sekarang, ia merasa lebih siap menjaga pai wortel Ibu, karena ia sudah mirip seorang ksatria. Ia berlari-lari menuju dapur, mengayun-ayunkan gagang sapu lantai, seakan-akan pedang yang siap menyerang musuh.
Sayang sekali, ternyata para musuh lebih dulu menyerang. Pai wortel dipatuki oleh sekumpulan burung! Dan ketika Kinci mengusir mereka, pai itu jatuh berantakan di tanah! Ibu melihat kejadiannya saat pulang.
“Ah, rupanya ksatria kelinci Ibu melalaikan tugas utamanya untuk menjaga pai wortel.” kata Ibu kecewa.
Kinci juga merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Seharusnya aku lebih memperhatikan pai wortel daripada penampilanku!
Tapi, Kinci bukanlah ksatria yang mudah menyerah.
“Besok, aku akan membantu Ibu memasak pai wortel lagi dan menjaganya dengan lebih sungguh-sungguh!” janji Kinci, Sang Ksatria Kelinci.

Putri Apa Ya?

Pak Tobi, seorang pembuat kue, hidup sederhana dengan tiga anak perempuannya yang masih kecil. Ia memenangkan sayembara membuat kue di istana. Sebagai hadiah, Pak Tobi dan anak-anaknya diundang makan malam bersama keluarga Sang Raja dan menerima banyak hadiah. Anak-anak Pak Tobi sangat kagum melihat keindahan istana, terutama saat Sang Puteri yang bergaun sutera indah, menyambut mereka dengan penuh keanggunan. Sang Puteri nampak mempesona.
Sesampainya di rumah, anak-anak Pak Tobi berteriak ribut.
“Ayah, aku ingin menjadi Sang Puteri!”
“Aku juga!”
“Aku juga, Yah!”
“Baiklah, baiklah.” Pak Tobi berusaha menenangkan anak-anaknya. “Kalian semua bisa menjadi Puteri, asalkan kalian bisa menunjukkan pada Ayah, keistimewaan apa yang kalian punya.”
Beberapa hari kemudian, Pak Tobi menyiapkan acara keluarga yang istimewa. Malam itu adalah malam Penobatan Puteri. Masing-masing anak Pak Tobi pun memakai gaun terindah mereka dan memakai mahkota yang mereka buat sendiri dari kertas mengkilap dihiasi pernik-pernik.

“Ayah, dari awal aku langsung tahu bahwa keistimewaanku adalah memasak. Hidangan malam ini, aku yang membuat.” kata anak sulung. Maka Pak Tobi menobatkannya sebagai Puteri Hidangan Lezat.
Kemudian, anak kedua maju ke depan. “Setelah aku pikirkan matang-matang selama beberapa hari, aku merasa keistimewaanku adalah pintar membersihkan dan menata rumah. Lihat, hari ini rumah kita terlihat semakin bersih dan cantik, kan?” Maka, Pak Tobi menobatkannya sebagai Puteri Perawat Rumah.
Giliran anak terakhir yang melangkah ragu-ragu ke depan. Ia membawa seikat bunga berwarna-warni.
“Nggg…Ayah…aku tidak pintar memasak dan membersihkan rumah seperti kakak-kakakku. Aku tidak tahu apa keistimewaanku. Tapi…aku membawa bunga-bunga ini untuk Ayah. Jadi, aku ini Puteri apa ya?”
Pak Tobi dan anak-anak lain tertawa melihat tingkah lakunya yang lucu dan polos.
Pak Tobi tersenyum sambil menerima bunga-bunga itu. “Karena kamu anak Ayah yang terakhir, maka Ayah menobatkanmu sebagai Puteri Bungsu!”
“Lalu apa keistimewaanku?”
“Kamu istimewa karena selalu membuat rumah ini ceria dengan kehadiranmu. Kalian semua adalah puteri-puteri Ayah yang paling istimewa!”
Pak Tobi memeluk semua anak-anaknya dengan bahagia. Rumah itu pun semakin ramai dengan keriangan Puteri-Puteri kecil tersebut.

Pangeran Bermuka Masam

Pangeran Fio tinggal bersama ayahnya, Raja Tito, di sebuah kerajaan kecil. Ia adalah anak yang baik. Sayangnya ia sering tampak murung dan tidak bersemangat. Sehingga, seluruh istana menjulukinya Pangeran Bermuka Masam.
Suatu hari, Pangeran Fio melihat ayahnya pulang kelelahan dari kegiatan berkeliling kerajaan.
“Ah, seandainya ada jus Tomat Pelangi, badanku pasti akan segar kembali.” kata Raja Tito pada Pangeran Fio.
Pangeran Fio ingin sekali menyenangkan ayahnya. Maka, ia pergi menemui Tabib Istana untuk menanyakan perihal Tomat Pelangi.
“Buah yang sangat langka dan hampir mustahil ditumbuhkan. “ kata Tabib Istana termenung. “Tapi, ada cara rahasia untuk merawatnya. Setiap hari, Pangeran harus menceritakan hal-hal yang menyenangkan kepada tanaman Tomat Pelangi. Dan juga, selalu tersenyum saat menyiraminya. Apa Pangeran bisa?”
“Aku akan mencobanya.” jawab Pangeran Fio ragu-ragu, sambil menerima benih Tomat Pelangi dari Tabib Istana.
Hari demi hari, Pangeran Fio menanti benih Tomat Pelangi tumbuh. Namun, tak sedikitpun tunas yang menyembul dari dalam pot. Kemudian ia teringat cara rahasia yang dikatakan Tabib Istana. Pangeran Fio berusaha melakukan hal-hal yang ia disukai, supaya ia bisa menceritakannya pada tanaman Tomat Pelangi. Tak lupa, ia berusaha tersenyum saat menyirami tanaman itu. Usaha Pangeran Fio tidak sia-sia. Tanaman Tomat Pelangi tumbuh demikian suburnya hingga berbuah lebat. Tak terasa pula, sifat Pangeran Fio menjadi lebih periang dan lebih sering tersenyum.
“Ayah, ini jus Tomat Pelangi yang aku tanam sendiri. ” kata Pangeran Fio.
Raja Tito segera meminumnya. Rasanya manis, agak masam, tapi segar.
“Wah, badan Ayah terasa lebih sehat sekarang! Terima kasih, Fio!”
Raja Tito sungguh bahagia menerima jus istimewa dari Pangeran Fio. Namun, yang lebih membuatnya bahagia adalah senyum ceria Pangeran

Dodo Si Domba Hitam

Di sebuah bukit yang hijau, tinggallah seekor domba berbulu hitam, bernama Dodo. Ia selalu diejek oleh domba-domba lain yang berbulu putih bersih. Siang itu rupanya bukan hari hari yang tepat untuk merumput. Beberapa manusia datang ke padang rumput itu dan menangkapi domba-domba itu.
“Ah, sayang. Yang ini hitam. Bulunya jelek! Dagingnya pasti juga tidak enak dimakan!” kata manusia yang menangkap Dodo.
Dodo berhasil melarikan diri, masuk hutan. Namun malang nasib domba-domba lain. Mereka dibawa pergi oleh para manusia itu.
Diam-diam, Dodo mengikuti jejak mereka. Oh, ternyata teman-temannya dimasukkan ke dalam kandang luas yang berpagar rendah. Bulu-bulu putih mereka nampak mencolok di gelapnya malam. Kalau mereka lari, pasti akan ketahuan manusia penjaga di sekitar kandang.
Dodo tersenyum simpul. “Hm, aku ada ide.”
Saat malam tiba, Dodo pelan-pelan meloncat masuk kandang. Domba-domba lain terkejut dengan kehadiran Dodo.
“Cepat, bergulinglah kalian di atas lumpur itu!” perintah Dodo.
Domba-domba yang sedang kebingungan itu menurut saja. Sekarang mereka jadi sehitam Dodo karena bulu mereka yang putih menjadi hitam terkena lumpur.
“Penjaganya sedang lengah. Semua, loncat keluar pagar!” komando Dodo.
Mereka pun segera meninggalkan kandang tanpa diketahui oleh manusia penjaga. Sebab, di malam yang gelap, bulu mereka yang hitam menjadi tidak kelihatan. Dodo memang cerdik!
Kini, domba-domba putih itu lebih menghargai perbedaan warna bulu Dodo. Berkat kecerdikan Dodo, warna bulu yang selama ini mereka ejek, malah menjadi penyelamat hidup mereka.

Riri dan Pohon Menuju Awan

Siang itu, Riri duduk cemberut sambil menangis di atas dahan pohon yang tumbuh di halaman belakang rumahnya.
“Huuu…huuu…kenapa sih Ibu tidak mau membelikan aku boneka baru? Aku kan kepingin banget…..”
Entah karena kecapekan menangis atau karena angin sepoi-sepoi, Riri pun mulai mengantuk. Tiba-tiba, tubuh Riri terguncang-guncang.
Kraak…kraak…! Oh, tidak! Pohon yang Riri naiki terus tumbuh menjulang ke atas!
“Waa….! Ini seperti dongeng sulur kacang ajaib yang diceritakan oleh Ibu kemarin malam!” teriak Riri.
Ia berpegangan erat-erat pada batang pohon.
Sampai akhirnya, pohon itu menembus awan-awan putih yang menggumpal di langit. Belum habis rasa herannya, Riri melihat sesuatu yang lain lagi. Seorang anak perempuan cantik berpakaian aneh, di samping benda mirip pesawat mungil.
Seakan lupa kalau ia sedang berada di tengah awan, Riri menghampiri anak itu.
Puff…puff…puff…! Kaki Riri serasa menginjak kapas lembut.
“Halo! Aku Riri! Siapa namamu?” tanyanya penasaran.
“Halo, Riri! Aku Jiji dari luar angkasa. Aku baru saja jalan-jalan di sekitar sini. Sekarang aku akan pulang. Mau ikut?” ajak Jiji ramah.
“Mmmm….” Riri menimbang-nimbang. “Apa kamu punya boneka di rumahmu?”
“Oh! Iya, aku punya banyak. Ibuku selalu membelikan aku boneka baru setiap hari. Kalau mau, pilih saja sesukamu sebagai hadiah persahabatan kita.”
Asyiiik! Batin Riri. Ia sangat menginginkan boneka baru. Maka, ia memutuskan naik pesawat mungil itu dengan Jiji.
“Rumahku sangat jauh dari sini. Jadi sabar, ya?” kata Jiji.
Eh iya! Riri baru sadar. Bagaimana kalau aku tidak bisa pulang kembali? Tidak bisa bertemu Bapak dan Ibu lagi…..
“A...aku pulang saja, Jiji…” kata Riri.
“Lho kenapa? Nanti aku kasih dua boneka deh!” Jiji merayu.
Riri teringat boneka-bonekanya di rumah. Betapa senangnya kemarin ia bermain sekolah-sekolahan bersama mereka. Riri jadi tambah sedih.
Sekarang, ia tidak menginginkan boneka baru lagi. Riri cuma ingin pulang…..
“Riri….Riri….!!”
Dari atas pesawat, Riri melihat Ibu memanggil-manggil namanya di halaman belakang. Riri ingin sekali segera turun dari pesawat. Tapi, tombol pintunya macet! Ia bingung dan takut!
“Ibu…Ibu….!” teriak Riri sambil menangis.
“…Riri! Ayo turun, sayang!”
Riri membuka matanya. Ibu sedang berdiri tersenyum di bawah pohon. Rupanya tadi Riri cuma bermimpi.
“Bapak sudah pulang, tuh! Kita makan siang sama-sama, yuk!” kata Ibu.
Riri cepat-cepat menuruni pohon. Ia memeluk pinggang Ibu dengan manja. Hangat rasanya bisa memeluk Ibu. Lebih hangat daripada memeluk boneka baru. Iya kan, Riri?

Sabtu, 22 Agustus 2009

KADO UNTUK IBU

Cici sedang asyik bermain masak-masakan di halaman belakang, ketika Ayah menghampirinya.

“Hari ini Ibu berulangtahun, lho! Ayah akan menyiapkan pesta kecil di rumah. Sedangkan tugasmu, membelikan kado untuk Ibu. Ini uangnya.” bisik Ayah.

“Oooh…tugas rahasia ya, Yah? Asyiiik!” seru Cici senang.

“Ssttt…!” Ayah menoleh kanan-kiri, takut kalau Ibu mendengar rencana pesta kejutan nanti.

Cici menyusuri trotoar dengan hati riang. Hari ini Ibu berulangtahun, dan ia pasti akan membelikan kado yang paling bagus buat Ibu.

Ia memandang sekeliling. Berbagai macam toko berderet-deret, seakan memanggil-manggil Cici untuk masuk dan melihat isinya.

“Kado apa yang bagus ya?” Cici terus melangkah.

Tak sengaja, mata Cici tertumbuk pada sebuah benda biru lembut nan empuk di sebuah etalase toko. Sebuah boneka beruang yang lucu.

“Ah, bagus sekali…” Cici langsung jatuh cinta pada boneka itu. “Hmm…ini akan menjadi hadiah terbaik!” Maka Cici pun membeli boneka beruang biru itu.

“Uang dari Ayah juga masih sisa! Aku dapat diskon dari pemilik toko, ketika aku bilang ini hadiah untuk Ibu. Aku memang pintar! Hihi!” Cici tersenyum.

Tak lama kemudian, Cici melewati sebuah toko hewan peliharaan. Ia tertarik masuk untuk melihat hewan-hewan yang lucu. Ada hamster, kucing, anak anjing, kura-kura, dan…oh, seekor ikan mas koki bermata bulat, gemuk, dan lincah berenang ke sana kemari. Terlalu sayang untuk pulang tanpa membeli ikan itu. Tapi, ia kan sudah membeli boneka untuk kado Ibu….

“Apa salahnya membeli dua kado? Apalagi kalau kadonya bagus-bagus.” katanya dalam hati.

Sekali lagi, Cici menghitung uang dari Ayah. Ah, masih ada sisa malahan, walaupun sedikit.

Cici tersenyum puas sambil keluar dari toko hewan peliharaan. Dua kado yang sangat hebat telah ia beli untuk Ibu. Lalu, ia memutuskan pulang ke rumah.

Tapi…eh, apa itu? Ada bulatan-bulatan berwarna-warni sebesar kelereng, dalam toples kaca di sebuah toko grosir. Permen! Mmm…pasti manis sekali rasanya….

“Kalau begitu, biar uang sisanya aku belikan permen saja. Jadi ada tiga hadiah buat Ibu!” Cici mengangguk-angguk pelan.

Namun, sepanjang perjalanan pulang, hati Cici merasa tak enak. Sepertinya, ada yang salah dengan kado-kado ini…apa ya?

Cici tidak hanya mempunyai satu kado, tapi tiga kado malah! Semuanya Cici suka. Semua bagus-bagus!

Ia berpikir lagi, “Boneka….ikan mas koki….permen….ah tunggu! Semuanya kan kesukaanku! Bukan kesukaan Ibu! Aduh…aku telah salah membeli hadiah!!”

Cici menjadi panik. Saat ia melewati kebun bunga milik Bibi Lili, ia segera ingat bahwa kesukaan Ibu adalah bunga Tulip! Karena uangnya sudah habis, maka Cici bermaksud meminta beberapa potong bunga Tulip pada Bibi Lili.

“Oh, kado untuk Ibu, ya? Ambillah sesukamu, Cici.” kata Bibi Lili.

“Terima kasih, Bi!”

Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu sudah menunggu Cici di ruang makan yang dihiasi pita-pita dan balon-balon oleh Ayah.

“Nah, ini dia kadonya datang.” kata Ayah senang.

“Kado apa yang kamu belikan untuk Ibu, Ci?” tanya Ibu.

“Selamat ulang tahun ya, Bu! Cici sayang Ibu!” Cici mencium pipi Ibu.

Dan ketika Ibu membuka semua kado-kado yang dibeli Cici….

“Ooo, benar-benar hadiah yang istimewa ya? Pasti ini pilihan Cici sendiri.” Ibu tertawa kecil, dengan agak heran, melihat sebuah boneka beruang, seekor ikan mas koki, sekantung permen, dan seikat bunga Tulip.

“Hehehehe….” Cici tersenyum malu-malu, sambil melirik ke arah Ayah yang sedang menahan tawa, melihat kado-kado Cici.