Menu1

Selasa, 22 Mei 2012

KADO UNTUK IBU

Cici sedang asyik bermain masak-masakan di halaman belakang, ketika Ayah menghampirinya. 
“Hari ini Ibu berulang tahun, lho! Ayah akan menyiapkan pesta kecil di rumah. Sedangkan tugasmu, membelikan kado yang hebat untuk Ibu. Ini uangnya.” bisik Ayah.  
“Oooh…tugas rahasia ya, Yah? Asyiiik!” seru Cici senang. 
“Ssttt…!” Ayah menoleh kanan-kiri, takut kalau Ibu mendengar rencana pesta kejutan nanti.

 


“Wuaah!!” seru Cici, saat menyusuri trotoar untuk membeli kado Ibu. 
Berbagai macam toko berderet-deret di samping. Seakan memanggil-manggil Cici untuk masuk dan melihat isinya. 
Semua toko tampak menarik. 
“Aku akan membeli kado terhebat untuk Ibu. Tapi, apa ya?” 
Cici mulai kebingungan. Toko mana yang menjual hadiah terhebat untuk Ibu? 




Tanpa sengaja, mata Cici tertumbuk pada sebuah benda biru lembut nan empuk di sebuah etalase toko. Sebuah boneka beruang yang sangat lucu. 
“Ah, bagus sekali…” Cici menyentuh bulu boneka beruang yang halus. 
Ia langsung jatuh hati pada boneka itu.  
“Hmm…ini akan menjadi hadiah terhebat!” ucapnya semangat. 
Maka Cici pun membeli boneka beruang biru itu. 
“Uang dari Ayah juga masih sisa! Aku dapat diskon dari pemilik toko, ketika aku bilang ini hadiah untuk Ibu. Aku memang pintar! Hihi!” Cici tertawa kecil. 




Tak lama kemudian, Cici melewati sebuah toko hewan peliharaan. Ia tertarik masuk untuk melihat hewan-hewan yang lucu. 
Ada hamster, kucing, anak anjing, kura-kura, dan…oh, seekor ikan mas koki bermata bulat, gemuk, dan lincah berenang ke sana kemari. 
“Iih...lucu!” Cici geli melihat wajah dan tingkah ikan mas koki yang menggemaskan. Terlalu sayang jika tidak dibeli. Tapi, ia kan sudah membeli boneka untuk kado Ibu….  
“Apa salahnya membeli dua kado? Apalagi kalau kadonya bagus-bagus.” pikirnya. 
Sekali lagi, Cici menghitung uang dari Ayah. 
Ah,jumlahnya cukup untuk membeli ikan mas koki. Masih ada sisa malahan. Walaupun sedikit. 
Cici tersenyum puas, sambil melangkah keluar toko. Dua kado yang sangat hebat telah ia beli untuk Ibu. Ia pun memutuskan pulang ke rumah. 




Tapi…eh, apa itu? 
Ada bulatan-bulatan berwarna-warni sebesar kelereng, dalam toples kaca di sebuah toko warna-warni. Permen! Mmm…pasti manis sekali rasanya…. 
“Kalau begitu, biar uang sisanya aku belikan permen saja. Jadi ada tiga hadiah hebat buat Ibu!” Cici mengangguk-angguk pelan. 
Ia bangga sekali dengan hasil tugas rahasianya. Namun, sepanjang perjalanan pulang, hati Cici merasa tak enak.  
Sepertinya, ada yang salah dengan kado-kado ini…apa ya? 

Saat melewati kebun bunga milik Bibi Lili, tiba-tiba Cici teringat sesuatu.
Ibu suka bunga Tulip! Boneka beruang, ikan mas koki, dan permen adalah kesukaan Cici. Bukan kesukaan Ibu. O-o! Rupanya, ia telah keliru membeli kado!
“Seharusnya, kado yang kubeli adalah benda kesukaan Ibu. Bukan kesukaanku sendiri...” sesalnya. 
Namun, kini, uang pemberian Ayah telah habis. Maka, Cici bermaksud meminta beberapa potong bunga Tulip pada Bibi Lili. 
“Oh, kado untuk Ibu, ya? Ambillah sesukamu, Cici.” kata Bibi Lili. 
“Terima kasih, Bi!” 
Huff, untung Bibi Lili baik hati. 

 

Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu sudah menunggu Cici di ruang makan. Hiasan pita-pita dan balon-balon yang dipasang Ayah,membuat ruangan nampak ceria. 
“Nah, ini dia kadonya datang.” sambut Ayah senang. 
“Selamat ulang tahun ya, Bu! Cici sayang Ibu!” Cici mencium pipi Ibu. 
“Kado apa yang kamu belikan untuk Ibu, Ci?” tanya Ibu. 
Cici tidak menjawab. Wajahnya tersipu-sipu malu. 
Dan ketika Ibu membuka semua kado-kado yang dibeli Cici…. 
“Ooo, benar-benar hadiah yang istimewa ya? Pasti ini pilihan Cici sendiri.” 
Dengan perasaan heran, Ibu mengamati benda-benda di depannya. Sebuah boneka beruang, seekor ikan mas koki, sekantung permen, dan seikat bunga Tulip. 
“Terima kasih, Sayang!” ucap Ibu. 
Ayah dan Ibu bersama-sama mencium pipi Cici. 
Cici merasa sangat bahagia.


-Selesai-

Kamis, 18 Maret 2010

Maaf, Aku Tidak Bisa Membantu!

Hami si Hamster tertidur di kursi setelah seharian lelah merajut syal untuk Lala si laba-laba.
“Aduh, Hami! Aku harus membuat sebuah syal untuk festival syal laba-laba nanti malam. Kau tahu kan, aku tidak bisa merajut. Jadi, tolong rajutkan syal yang bagus untukku ya?” pinta Lala tadi pagi. Hami tidak mungkin menolak permintaan sahabatnya.
Padahal, ia juga harus menyelesaikan rajutan topi untuk kado di pesta ulangtahun sepupunya malam ini. Tapi, karena ketiduran, Hami tidak bisa menyelesaikan topi itu dan tidak datang ke pesta. Seharusnya, tadi ia bilang pada Lala kalau tidak bisa membantu.
“Kenapa sih, aku tidak pernah bisa menolak permintaan teman-temanku?” desah Hami sedih. “Akhirnya, aku sendiri yang kesulitan.”
Hami berpikir keras. Lalu, ia menemukan sebuah ide. Ia berdiri di depan cermin. Ia mengambil nafas dalam-dalam.
“Maaf, aku tidak bisa membantu. Aku sedang sibuk. Tidak bisa…tidak bisa…”
Hami mengulangi kata-kata itu berkali-kali sampai tenggorokannya kering.
Esoknya, Hami pergi ke rumah sepupunya untuk mengantarkan kado dan es krim buatannya. Ia ingin meminta maaf, sebab kemarin malam ia tidak datang ke pesta.
“Wah, harus cepat-cepat nih! Atau es krim ini akan meleleh terkena panas matahari.”
Hami berjalan tergesa-gesa melewati kebun wortel Coki si kelinci.
“Hai, Hami! Kebetulan kau lewat! Bantu aku memanen wortel yuk!” ajak Coki. Ia nampak sibuk mencabuti wortel-wortel yang sudah masak.
“Tapi aku…” Hami ingin mengucapkan maaf, tidak bisa, seperti dalam latihannya di depan kaca. Namun, tenggorokannya seperti tersekat biji matahari yang sangat besar. Coki sering membantu Hami. Masa’ kali ini ia tidak mau membantu Coki?
“Aku segera ke sana!” seru Hami.
Selesai memanen wortel, Hami melihat ke dalam keranjangnya. Yaah…benar kan? Es krim sudah mencair…. Hari itu, Hami merasa lebih sedih daripada kemarin.
“Aku butuh udara segar. Besok pagi, aku ingin berjalan-jalan.” ucap Hami menghibur diri.
Padang rumput nan hijau adalah pilihan yang tepat untuk jalan pagi. Badan Hami terasa segar dan hati Hami ceria kembali.
“Oh, Hami yang manis. Bisakah kau ambilkan topikuuu?”
Topi kesayangan Sami si sapi terbang tertiup angin kencang, hingga tersangkut di ranting pohon yang tinggi.
Bukannya Hami tak mau menolong. Ia juga tahu, tidak ada sapi yang bisa memanjat pohon. Masalahnya, Hami takut ketinggian. Takut sekali malah!
Lalu, Hami mengeluarkan gulungan kertas besar dari tas. Ia menunjukkan tulisan di dalamnya pada Sami: maaf, aku tidak bisa membantu. Begitu bunyinya.
“Mmmm…” Sami mengeryitkan dahi, berusaha membaca. “Tulisan itu artinya…kau mau membantuku?” tanya Sami lugu.
Oh iya! Hami lupa! Sami kan buta huruf! Aduh….
“Iya, akan kuambilkan…” jawab Hami lemas.
Dengan menahan segenap rasa takutnya, Hami memanjat pohon dan berhasil mengambil topi Sami.
“Terima kasih, Hami…!” Sami melanjutkan perjalanannya sambil berdendang riang.
Bagaimana keadaan Hami? Seluruh badannya lemas karena menahan rasa takut yang begitu besar..
“Aku tidak kuaat…” O-oh! Ia jatuh pingsan di atas rumput!
“Bangun, Hami!” kata seorang gadis yang berukuran keciiil sekali. Ia mempunyai sayap seperti capung.
Pelan-pelan, Hami tersadar. “Oh, Peri Embun…”
“Kau kenapa?” tanya Peri Embun. Hami pun menceritakan apa yang terjadi.
“Oh…begitu.” Peri Embun tertawa kecil. “Minum air embunku ini. Badanmu akan segar kembali. Dan kau pasti bisa mengatakan apapun yang ingin kau katakan, pada siapapun juga. Percayalah!”
Gluk, gluk, gluk! Kesegaran air Peri Embun memang berbeda dengan air biasa. Sangat sejuk, membuat Hami seakan mampu melakukan apa saja.
“Hai, teman-teman! Apakah kalian melihat bola berwarna hijau di sekitar sini?” Miu si Kucing datang menghampiri.
“Susah sekali mencari bola hijau di padang rumput hijau. Kalian mau membantu?” tanya Miu.
Buru-buru, Peri Embun menjawab. “Maaf, Miu. Aku sedang sibuk menyiram embun pada tetumbuhan. Mungkin, Hami bisa membantumu.”
Ia terbang menjauh sambil mengerling ke arah Hami.
“Aku tidak bisa membantumu!” sahut Hami cepat. Sungguh mengejutkan, namun ia berhasil mengatakannya! Air Peri Embun benar-benar mujarab!
“Maaf…maksudku, aku baru saja siuman dari pingsan. Aku butuh istirahat sekarang. Bagaimana kalau kubantu mencari besok?” Hami memperbaiki kata-katanya. Dalam hati, ia takut Miu kecewa dan menganggapnya tidak setia kawan.
“Pingsan? Ayo aku antar pulang!” kata Miu. Wajahnya nampak khawatir.
“Bagaimana dengan bolamu?”
“Kesehatanmu lebih penting daripada bolaku.”
Walaupun Hami tidak membantunya mencari bolanya yang hilang, Miu tidak marah. Malah menggendong Hami pulang ke rumah. Miu memang teman yang baik!
Diam-diam, Peri Embun mengintip dari balik rerimbunan semak-semak.
“Besok, aku akan memberi tahu Hami, kalau ia berhasil karena keberaniannya sendiri. Air embunku kan cuma air biasa. Hihihi!”

Jumat, 08 Januari 2010

HARI-HARI SI UCI

Selamat pagi! Namaku Uci, si ulat. Aku tinggal di sebuah pohon yang daunnya rimbun. Beberapa hari lalu, aku baru saja menetas dari telur. Aku punya bulu berwarna coklat berbintik-bintik hitam. Tidak begitu bagus, sih.

“Ah, jangan khawatir. Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan menjadi kupu-kupu yang cantik, kok.” hibur Lala, si lebah, sahabat baikku.

Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya. Aku ingin cepat besar, dan menjadi kupu-kupu yang cantik! Dengan lahap, aku memakan dedauan hijau banyak sekali. Sampai akhirnya tubuhku jadi tambun, dan buluku berubah menjadi kulit berwarna hijau seperti daun yang kumakan tiap hari.

“U…uh, bagaimana aku bisa menjadi kupu-kupu cantik kalau badanku gendut begini? Aku juga tidak suka warna hijau!” keluhku, saat Lala datang berkunjung.

“Hmmm…aku pun tidak mengerti. Tapi aku merasa, warna kulitmu itu pasti ada gunanya.” kata Lala. Dia memang sahabat yang baik, selalu menghiburku di kala aku sedih.

“Kaok….!”

Tiba-tiba seekor burung besar menukik ke arah kami. Lala segera terbang menyelamatkan diri. Sedangkan aku terdiam kaku karena ketakutan. Burung itu dekat sekali denganku. Matanya yang tajam memandang dedaunan tempat aku berada.

“Bah! Tidak ada makanan di sini! Kaok!” katanya seraya terbang pergi.

Ah, aku mengerti! Burung tadi tidak melihatku, sebab warna kulitku yang hijau seperti daun! Syukurlah!

Aku jadi lebih semangat lagi melahap dedaunan. Akibatnya, tubuhku jadi lebih gemuk lagi, dan membuatku semakin malas bergerak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menempel di sebuah ranting, sambil menikmati angin sepoi-sepoi.

“Waah…Uci! Sebentar lagi kamu pasti menjadi kepompong!” kata Lala.

Kepompong? Apa itu ya? Aku mengantuk sekali. Bahkan aku tidak menyambut kedatangan Lala. Apalagi sekarang kulitku mengeluarkan benang-benang halus yang lembut. Aku seperti dibungkus selimut hangat. Hoahm….

Aku lupa berapa lama aku telah tertidur. Aku terbangun oleh suara yang memanggil-manggil namaku.

Krek! Aku menyobek lilitan benang yang mengering, menutupi tubuhku.

“Eh, Uci! Kamu sudah keluar dari kepompong rupanya! Sekarang kamu seekor kupu-kupu!” Lala berseru kegirangan, mengelilingi aku.

Benar! Aku sudah menjadi seekor kupu-kupu cantik. Sayapku terkepak-kepak dengan indahnya.

“Ayo kita mencari madu sama-sama!” ajak Lala.

“Yuk!” sambutku riang.

RESEP SEHAT SELALU

Koki Kecil sudah lama belajar memasak di tempat Guru Koki. Suatu hari, ketika ia sedang sendirian menjaga rumah Guru Koki, ada makhluk berbadan hijau dan bertanduk di kepala, mengendap-endap di kegelapan malam.
“Hahaha! Aku berhasil mengambil Buku Resep Sehat Selalu milik Guru Koki!”
Makhluk itu berlari kencang sambil cekikikan. Ia adalah Monster Kecil, yang tinggal jauh di puncak gunung sana.
“Hei, tunggu!” teriak Koki Kecil. Sayang, ia terlambat. Monster itu terlalu cepat untuk dikejar.
“Hm, aku sudah berjanji pada Guru Koki untuk menjaga buku itu. Aku harus memenuhi janjiku. Aku akan pergi ke rumah si Monster Kecil nakal itu!”
Pertama, Koki Kecil harus melewati terowongan yang panjang dan gelap menuju gunung. Ia mengeluarkan wortel segar berwarna oranye. Krius-krius-krius!
“Setelah makan wortel ini, aku jadi bisa melihat lebih jelas dalam terowongan ini. Wortel memang bagus untuk mataku!”
Begitu keluar dari terowongan, jalan yang harus dilalui kian menanjak.
“Aku butuh tenaga, nih!”
Lantas, Koki Kecil mengeluarkan sebungkus nasi berlauk daging dan minum sebotol susu. Mmm lezat!
Selesai makan, ia mendaki dengan penuh kekuatan dan semangat. Hap-hap-hap!
Ketika malam tiba, hujan turun dengan deras! Hatsyii! Waduh, Koki Kecil bisa sakit pilek, nih! Ia segera berteduh di dalam gua, sambil membuat minuman hangat dari buah jeruk. Esok paginya, ia bangun dengan badan yang lebih segar.
“Guru Koki benar. Jeruk bisa mencegah pilek! Jalan lagi, ah!”
Sesampainya di depan rumah Monster Kecil, Koki Kecil bermaksud meminta kembali Buku Resep Sehat Selalu. Namun, ia menjumpai Monster Kecil sedang menangis.
“Lho, kamu kenapa, Monster Kecil?” tanya Koki Kecil.
“Aku sedang sakit demam...batuk...pilek...hu...hu...uhuk-uhuk...! Hach-chu...! Gara-gara kemarin kehujanan...”
“Kenapa kamu tidak membaca resepnya untuk menyembuhkan sakitmu?”
“Aku lupa...aku tidak bisa baca....hu...hu...”
Koki Kecil menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengambil Buku Resep Sehat Selalu yang tergeletak di lantai, lalu pergi ke dapur untuk memasak salah satu resep dari buku itu.
“Ini namanya Nasi Sup Sayur-Daging Ajaib. Makan buah jeruknya juga, dan istirahat yang cukup. Aku akan menjagamu. Tapi kamu jangan nakal lagi, ya?” kata Koki Kecil.
“Maafkan aku...” Monster Kecil terlihat sungguh menyesal. “Mmm...tapi, bagaimana kamu bisa kuat sampai di sini? Kan perjalanannya berat! Kok kamu tetap sehat?”
“Hehehe. Karena Guru Koki telah mengajariku inti dari Buku Resep Sehat Selalu!”
“Apa itu?” tanya Monster Kecil sembari melahap Nasi Sup Sayur-Daging Ajaib.
“Intinya...Nasi...Sayur-Mayur...Lauk-Pauk...Buah-Buahan...dan Susu!” Koki Kecil tertawa. “Mudah, kan? Tidak perlu mencuri buku Guru Koki segala!”
Monster Kecil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis. Malu!

Minggu, 23 Agustus 2009

MOPI MENANGKAP PELANGI

Mopi, si monyet, suka berada di dekat jendela saat hari hujan. Kadang, ia pura-pura memancing ikan atau menjatuhkan perahu kertas di atas tanah yang dialiri air hujan yang deras.
Kali ini, setelah hujan reda, ia melihat sesuatu yang berbeda.
“Wuah! Apa itu, Nek? Kok ada merah…hijau…kuning…biru…melengkung di langit? ” tanya Mopi pada Nenek yang sedang menyiapkan teh hangat bersama Ibu.
“Itu namanya pelangi.” jawab Nenek.
Wah…pelangi ya? Benar-benar indah. Mopi juga ingin punya pelangi.
“Besok aku mau pergi menangkap pelangi, ah!” cetus Mopi.
Tapi, bagaimana caranya? Semalaman Mopi tidak bisa tidur memikirkannya.
Esok harinya, setelah hujan reda, sebuah pelangi muncul lagi. Mopi berlari keluar rumah sambil membawa kantung besar.
“Hup…hup…hup…” ia segera memanjat pohon kelapa yang tinggi di dekat rumah. Mopi mau menangkap pelangi.
Tapi, sampai di pucuk pohon, pelangi itu masih saja tak tergapai oleh tangan Mopi.
“Ah, sayang. Padahal tinggal sedikit lagi.” sesal Mopi.
Ketika pulang ke rumah, Mopi melihat Nenek membawa sekeranjang benang wol berwarna-warni. Jangan-jangan…..
“Apa Nenek juga mau menangkap pelangi dengan benang-benang itu?” tanya Mopi curiga.
Nenek hanya tersenyum. Hati Mopi semakin dag-dig-dug. Jangan sampai Nenek mendahuluinya menangkap pelangi!
Setiap ada pelangi muncul, Mopi pasti berlari keluar rumah sambil membawa kantung besar. Semua pohon yang tinggi-tinggi ia panjat untuk menangkap pelangi. Namun, selalu gagal. Hiks!
Tapi, di hari Minggu ini, Mopi sungguh beruntung. Ayah mengajak Mopi naik balon udara! Ayah meminjamnya dari seorang teman. Asyik!
Saat balon udara melintasi pelangi, tangan Mopi berusaha meraihnya untuk dimasukkan ke dalam kantung. Namun, ternyata pelangi itu seperti udara! Tidak bisa ditangkap!
Mopi pulang dengan perasaan kecewa. Ia senang naik balon udara bersama Ayah, tapi ia gagal menangkap pelangi.
Dan Nenek tahu itu. Beliau memberikan sebuah kejutan untuk Mopi.
Oh, sebuah sweater bergaris warna-warni! Bagus sekali! Kok rasanya mirip…..
“Nenek berhasil menangkap pelangi?!” tanya Mopi heran.
Nenek tertawa. “Mopi, pelangi tidak bisa ditangkap. Tapi, kalau kau suka pelangi, kau bisa menangkap keindahannya. Nenek merajut sweater ini untuk menangkap keindahan pelangi.”
Mopi mengangguk-angguk. Ooh…begitu ya….
“Terimakasih, Nek!” Mopi memeluk Nenek dengan hangat.

KUNIL INGIN TAMPIL

Kunil, si kuda nil, suka sekali menari. Dia menari di depan cermin kamar tidurnya, di ruang tamu, di dapur, di halaman belakang, di mana saja asalkan ia bisa menari dengan senang.
Bulan depan, ia ingin tampil di pentas sekolah. Makanya, ia lebih sering menari dibandingkan hari-hari sebelumnya.
“Kunil menari? Hahaha. Penari kok gendut!” celetuk Tupsi, tupai yang sering usil pada semua temannya.
Kunil sedih sekali. Memang, penari-penari yang sering ia lihat tidak ada yang berbadan gendut.
Maka pagi itu, Kunil memutuskan untuk tidak sarapan. “Aku tidak mau makan, Bu. Aku bisa tambah gendut nanti.”
“Keluarga Kuda Nil tidak ada yang berbadan kurus, Kunil. Seperti keluarga Jerapah, tidak ada yang berleher pendek.” Kata Ibu.
‘Kunil termenung sejenak. ’Kalau begitu, aku yang akan menjadi Kuda Nil kurus pertama di dunia! Aku tidak mau makan!”
Ibu tertawa. “Ini pasti tentang pentas sekolah kan? Kenapa kau tidak menjadi penari gendut pertama di dunia saja?”
Penari gendut pertama di dunia? Kunil belum pernah mendengar itu.
“Sarapan sangatlah penting bagi seorang penari. Supaya ia punya tenaga untuk menari sepanjang hari dengan penuh semangat!” nasehat Ibu.
Sambil berpikir, Kunil mulai makan pelan-pelan.
Pulang sekolah, Ibu memberikan kejutan pada Kunil. Sebuah gaun yang indah dengan sepasang sayap berkilau untuk dipasang di punggung. Kunil senang sekali. Ia menari berputar-putar di depan cermin.
“Nah, apakah kamu sudah memikirkan tarian apa yang ingin kau tampilkan?” tanya Ibu.
“Yang pasti, dengan gaun ini, aku ingin menjadi peri cantik yang pandai merawat bunga-bunga!” jawab Kunil.
Hari pentas sekolah telah tiba. Kunil menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh percaya diri, ia menarikan gerakan-gerakan yang telah ia latih bersama Ibu di taman bunga belakang rumah. Di atas panggung, Kunil menjelma menjadi peri cantik yang lincah melompat dari bunga ke bunga, sambil menyiramkan embun pagi yang segar.
Para penonton menyukainya. Mereka bertepuk tangan riuh untuk Kunil.
Mulai hari itu, Kunil dikenal sebagai Kunil si Peri Bunga. Bahkan, Tupsi tidak pernah mengejeknya lagi.
Hmm…mungkin Kunil adalah peri bunga gendut pertama kali di dunia.

DINGO, SI SINGA HEBAT

Siapa yang tidak kenal Dokter Dingo di hutan kecil ini? Ia adalah singa hebat. Ia pandai menyembuhkan hewan-hewan yang sakit, terampil meramu obat dari kebun tanaman obat yang ia tanam sendiri, menulis pesan-pesan kesehatan yang ia kirimkan sendiri ke setiap kotak pos di rumah para hewan hutan, dan masih banyak kehebatan Dingo lainnya.
Setiap hari, Dingo sibuk sekali. Melakukan ini dan itu. Tapi ia lebih suka melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan hewan lain.
“Butuh bantuan untuk mengirim pesan kesehatan, Dingo?” tanya Bangau, Si Tukang Pos.
“Oh, tidak. Terima kasih!” begitu jawab Dingo setiap ada hewan yang menawarkan bantuan.
Suatu hari, angin bertiup amat kencang, sehingga merusak rumah Dingo. Padahal, Dingo biasa mengobati hewan-hewan yang sakit di rumahnya. Butuh waktu lama untuk memperbaiki rumah. Dingo mencoba membangun tenda. Namun sebentar saja, tenda itu roboh tertiup angin kencang.
“Aku dan teman-temanku bisa memperbaiki rumahmu yang rusak, Dingo. Bagaimana kalau besok?” kata Berang-Berang, Si Tukang Kayu.
“Ah, cuma rusak sedikit, kok. Aku bisa memperbaikinya sendiri.” jawab Dingo.
Tapi, Dingo takkunjung punya waktu untuk memperbaiki rumahnya. Ia sibuk berkeliling hutan untuk menyembuhkan hewan-hewan yang sakit, karena ia tidak bisa memeriksa mereka di rumahnya yang sedang rusak.
“Aduh…capek juga berkeliling hutan begini.” keluh Dingo, ketika ia sedang mengeposkan pesan kesehatan di rumah Tapir.
Tiba-tiba ia merasa pusing, lalu Dingo pun jatuh pingsan.
Saat sadar, Dingo sudah berada di dalam rumah Tapir. Hewan-hewan lain mengelilinginya.
“Kau pasti kecapekan, Dingo. Istirahatlah di rumahku selama beberapa hari sampai sehat. Aku akan merawatmu.” kata Tapir.
Dingo mencoba bangun, tapi ia merasa lemas. “Aku pulang saja. Aku harus memperbaiki rumahku, merawat kebun tanaman obat, mengirim pesan kesehatan, menyembuhkan hewan-hewan yang sedang sakit….”
“Tenang saja. Kami semua akan membantu. Bukankah kami ini teman-temanmu?” tanya Bangau dan Berang-Berang serempak.
Dingo tak menyangka bahwa ia memiliki banyak teman yang baik hati. Ketika ia sudah pulih dan kembali pulang, ia melihat Bangau mengirimkan pesan-pesan kesehatan yang masih tersisa. Kebun tanaman obat tumbuh subur, karena dirawat baik oleh Tikus Tanah, si Petani. Rumahnya juga sudah diperbaiki oleh para Berang-Berang. Dan yang paling penting, hewan-hewan bisa berobat di sini lagi. Lalu, siapa yang menjadi dokter selama ia pergi?
Oh, rupanya ada Kalkun yang baru saja lulus dari sekolah dokter!
“Aku sangat mengagumimu, Dingo! Aku ingin menjadi dokter hebat sepertimu.” kata Kalkun.
“Ah, aku tidak sehebat itu. Tapi, aku beruntung mempunyai teman-teman yang hebat seperti kalian semua.” kata Dingo terharu.